Kalo dekat acara pemilihan kepala daerah, pasti banyak kasus suap yang terungkap. Ini berulang terus dan polanya sudah sangat jelas. KPK coba memverifikasi dugaan pola korupsi di daerah dekat dekat pilkada lewat survey. Surveynya agak unik karena yang dijadiin responden justru calon kepala daerah yang gagal alias gak kepilih. Diharapkan kalau responden seperti ini akan lebih terbuka, nothing to loose. Eh bener ternyata dugaan penyebab korupsi kepala daerah. Sudah 4x survey, pertama akhir 2015-pilkada serentak pertama, sampai yang terakhir pilkada akhir 2019. lihat deh statistik kasus sejak 2016 nya

Pertama, semua calon mengamini bahwa pilkada gak ada yang murah. Tingkat pemilihan bupati aja bisa kena 30 milyar yang resmi dilaporkan. Gimana kalo pemilihan gubernur ya. gosip nya sih ratusan milyar. Kenyataannya pasti lebih tinggi. Banyak biaya kampanye yang gak dilaporkan ke KPUD.
Sekarang pertanyaannya kalo dah tau mahal, dengan resiko kalah dan duit hilang, kok masih banyak yang mau ikutan pilkada? Jawabannya sederhana aja, kalo menang pilkada dijamin semua biaya yang dikeluarin, termasuk hutang bakal terbayar. Bahkan bisa buat nabung untuk putaran kedua nanti. Makanya sering disebut kepala daerah kerja 3 tahun pertama ngebalikin modal pilkada. Dua tahun berikut ngumpulin modal buat pilkada berikut supaya kepilih 2 periode.
Karena tau kesempatan untuk bikin duit selama periode kepemimpinan, maka banyak pihak yang bersedia ‘minjemin’ dana untuk pilkada. Artinya, mereka ini bersedia dukung paslon yang mo maju pilkada. Bantuannya dalam bentuk dana. Tapi gak gratis pastinya. Nanti kalo menang, ya sumbangan yang sudah dikasihkan itu tolong dibayar segera.
Kalo calon petahana, yang sedang berkuasa begitu, tentu punya keuntungan dibanding paslon lain. Selagi dia berkuasa, tentu saja bisa mengarahkan proyek pemda untuk kemuliaan dirinya. Misalnya, lagi jaman covid begini, tentu dia akan arahkan anggaran buat kasih bansos langsung ke masyarakat. Waktu ngasih bansos kan dia akan bilang kalo pemerintahan dia ini sangat peduli rakyat. Jadi rakyat inget kalo dia ini baik ke rakyat. Padahal memang sudah seharusnya kan melayani rakyat, apalagi ini bukan pakai dana dia pribadi. Ini dana rakyat dari APBD. Pernah juga ada kepala daerah yang mendorong Upah Minimum Regional daerahnya naik fantastis, gak masuk akal. Akibatnya pengusaha di wilayah tadi menjerit karena biaya upah naik tinggi. Para buruh dan karyawan senang semua. Diharapkan mereka yang senang ini akan memilih dirinya sebagai petahana di pilkada yang berikut.
Dengan sistem seperti ini, kapital sangat mendominasi, maka petahana punya peluang terpilih lagi lebih besar. Wajar aja, karena posisinya yang diuntungkan selama persiapan pilkada. Dia bisa memobilisasi dana dari pengusaha atau sumber lain yang berurusan dengannya. Bahkan janji pun bisa dijual ke para pendukungnya untuk ikutan jadi sponsor paslonnya.
Syarat sah jadi paslon kalau dukungan partai minimum 20% dari jumlah kursi DPRD. Muncul namanya biaya mahar atau uang perahu. Jadi supaya namanya ditetapkan sebagai calon dari partai maka ia harus menyediakan mahar. Praktek ini sudah jadi rahasia umum, tapi tentu gak ada partai yang mengakui nya apalagi menyebutkan jumlahnya. Mahar bisa jadi gratis, kalo calon memang prospek bagus banget. Tapi kalo calon gak dikenal di daerah itu, gak jelas prestasinya, kalo partai mau nyalonin dia ya minta maharnya pasti lebih besar.
Sesudah dicalonkan partai memenuhi syarat, mulai kampanye. Biaya kampanye sebagian ditanggung pemerintah. Tapi yang mahal justru untuk menyuap masyarakat, calon pemilihnya. Makanya sampai sekarang ‘serangan fajar’ susah diberantas. Gilanya lagi, semakin banyak paslon ternyata masyarakat semakin senang. MEmbayangkan bakal dapat amplop dari banyak sumber nih. Perkara milihnya siapa masyarakat sudah pinter. Nanti aja di bilik pemilihan.
Terakhir, untuk mengamankan suaranya, dia harus rekrut saksi di TPS, rata rata 2 orang per TPS. untuk 100 TPS butuh 200 orang. Selain itu tim suksesnya juga harus dibiayai semua kan. Buat yang persiapan serius, sejak awal sudah menggaji pengurus partai di tingkat bawah, agar lebih all out memperkenalkan dirinya. Nah kira kira itu lah biaya pencalonan yang harus disediakan sebelum maju. Semua ini gak ada jaminan tentunya bakal menang.
Sesudah menang, yang jelas semua janji ke pendukung dana akan dipenuhi. Mayoritas pendukung dananya ya pengusaha. Jadi kalo main di konstruksi, ya mengharap nanti dapat proyek konstruksi dari pemda. Kalo pengusaha tambang, berharap dapat ijin tambang. Pengusaha perkebunan, yang punya hotel dan restoran yang sudah ada di daerah itu, berharap bisnisnya bisa langgeng, tidak diganggu. Jadi semua pengusaha pada dasarnya menyebar dukungan dananya ke semua paslon. Cari aman aja. Ini awal dari pembagian proyek di daerah ke pengusaha tertentu. Kalo sudah dibagi, tentu kewajaran harga tidak terjadi. Tidak ada kompetisi secara wajar.
Selama jadi kepala daerah, pasti butuh biaya operasional besar juga. Kan didukung partai waktu maju. Jadi siap siap juga kalo diminta sumbangan atau bantuan supaya menolong pengusaha yang disodori partai. Juga ke masyarakat. Kepala daerah dianggap kaya selalu. Jadi kalo ke masyarakat, ya harus memberi. Padahal uang operasional gak semua punya. Tergantung pendapatan dari daerahnya.
Gaji bupati/walikota hanya 6 juta per bulan. Tunjangan operasional, tergantung kekayaan daerah. Ada juga bagian dari Penerimaan Asli Daerah. Kalau PAD besar, kepala daerah dapet besar karena ini persentase. Tidak semua daerah kayak DKI Jakarta pastinya. Jadi rata rata penerimaan gaji/tunjangan selain fasilitas rumah kendaraan bisa sekitar 40 juta per bulan. Jelas gak mungkin untuk nutup biaya pilkada termasuk janji yg disampaikan ke sponsor. Belum lagi kebutuhan untuk dirinya sendiri. Lihat deh kekayaan kepala daerah. Sesudah menjabat beberapa tahun atau petahana, kekayaannya biasanya naik pesat.
Dari mana dia dapat itu semua? Pembayaran ‘hutang’ ke sponsor harus dilakukan. Gaji sangat minimum dibandingkan bayangan masyarakat tentang kepala daerahnya. Terakhir dia juga harus nabung dong buat dirinya sendiri. Masa sebelum jadi kepala daerah sama sesudah selesai nanti gak nambah hartanya. Jadi dia harus juga cari duit tambahan termasuk buat nyalon lagi untuk periode ke dua.
Kalo dia aslinya pengusaha, ya dia pasti paksa perusahaannya dapat proyek dari anggaran pemda. Kalo bisa harganya dinaikkan karena tidak ada kompetisi. Tidak ada yang berani ikutan lelang melawan perusahaan yang sudah ditandai sebagai pesanan kepala daerah.
Kalo kepala daerah bukan pengusaha, ya minta persentase dari kontraktor dari supplier. Tentunya gak langsung minta. Lewat anak buah misalnya kepala dinas. Lihat deh kasus suap kepala daerah, mayoritas melibatkan kepala dinasnya. Bisa juga lewat ajudan. Bahkan lewat orang yang gak jelas jabatannya, ngaku bekas tim sukses. Jadi kalo ketangkap, bilangnya gak kenal itu orang, gak ada di struktur. Ato dibilang jual nama saya untuk memeras. Salah sendiri kenapa dilayani.
Ijin dan rekomendasi juga dijadiin tambang duit. Biar ijin tambang dikeluarin propinsi, tapi kan kabupaten/kota bisa kasih rekomendasi. Nah ini yang diberi label harga. Ijin lokasi untuk perumahan juga kan harus ditandatangani kepala daerah. Ijin bikin mall, bikin rumah sakit, ijin perkebunan dan banyak lagi ijin dan rekomendasi yang harus lewat kepala daerah.
Sumber lain ya jual beli jabatan. Pegawai pemda tentu ingin naik pangkat ato ditempatkan di jabatan basah. Jabatan yang pegang anggaran besar atao jabatan yang kemungkinan bisa dapet penghasilan tambahan besar. gilanya lagi sampai penempatan guru aja ada kepala daerah yang bikin jadi sumber duit. guru harus setor kalo gak mau dipindah. Setoran besar bisa dipindah ke sekolah favorit yang orang tua muridnya banyak yang tajir. Kalo setoran dikit, silakan ke daerah yang jauh dan gak ada pemasukan dari les, hadiah dari orang tua murid dll. Apalagi jabatan kepala dinas. Dinas pendidikan pasti anggarannya besar. karena diwajibkan menganggarkan 20% dari APBD. Dinas kesehatan juga, wajib mendapat 10% dari APBD. Dinas pertambangan, dinas perijinan, dinas Pekerjaan Umum pastilah diincar orang. Nah mereka siap nyetor ke kepala daerah supaya bisa ditempatkan disana. Jadi kepala daerah iseng iseng bilang mau rotasi para pejabat, pasti dapet pemasukan. Karena yang sudah nyaman di jabatannya rela nyetor lebih. Sementara yang mo menempati jabatan itu juga siap nyetor besar.
Jangan dipikir hanya proyek, ijin dan jual beli jabatan aja kepala daerah bisa bikin duit. Dia diam dan tenang aja, kalo ada perusahaan besar pasti nyetor rutin ke pemda. untuk keamanan bisnis. dan ini kepala daerah pasti kebagian juga. Bisa juga dari penerimaan pajak daerah. Boleh lah kasih diskon penerimaan pajak ke pengusaha. Ujungnya pemda yang rugi sebenernya, tapi kan oknum justru untung besar. Pajak yang harus dibayar seharusnya 10 rupiah. oknum bilang gini aja, bayar ke pemda 2 rupiah, bayar ke oknum 2 rupiah. Pengusaha menghemat 6 rupiah. Ini juga sering terjadi.
Dari banyaknya biaya yang diperlukan untuk pilkada, ketemu dengan kepentingan pengusaha yang beraksi jadi sponsor. Selanjutnya sponsor kan terbayar juga. Lalu kepala daerah mulai memupuk untuk dirinya sendiri selama periode berkuasa. bahkan nabung buat periode ke 2. Tentu tidak semua kepala daerah seperti ini. Ada yang lebih parah, ada yang lebih baik. Tapi ini bisa menggambarkan gimana suap yang tertangkap tangan ini marak terjadi di 542 daerah se Indonesia.
Leave a Reply